Selasa, 08 Juni 2010
THREE WORDS ONE MEANING
A Mystery Of Love ..
The fact so far from what actually
Not so clear in mind
What We Have In Your Heart
From Attitude Smuanya Clearly
Moreover, from the doings
But Why No Real yours Everything Once
Give All My Sacrifice
Not Once Fitted yours
All Destroyed It
A Shared Loss
Reaching the Dream expectations
Jumat, 19 Februari 2010
Agama dan Persoalan Ekologis
Akhir-akhir ini kita merasakan cuaca panas yang tidak hanya melanda kota-kota besar dan daerah pesisir pantai, tetapi juga di kota-kota kecil dan daerah pegunungan. Persoalan ekologis, khususnya pemanasan global semakin nyata, tidak sekadar pada tataran wacana. Isu moral dan religiusitas menjadi bagian dari persoalan ini ketika fakta bahwa sebagian besar persoalan ekologis adalah disebabkan oleh manusia. Agama terlibat dalam hal ini, dan dialog antarumat beragama mungkin untuk dilakukan dengan dasar bersama (common ground), yakni persoalan ekologis itu sendiri.
Berbicara mengenai agama dalam relasinya dengan persoalan ekologis mempromosikan sebuah perspektif etis untuk persoalan tersebut. Perspektif ini dapat efektif dalam mempengaruhi masyarakat, khususnya orang beragama, untuk berjuang memecahkan persoalan ekologi yang dirasakan saat ini. Prinsipnya, para praktisi agama atau umat beragama sudah seharusnya meningkatkan dan membagikan kesadaran bahwa persoalan ekologi secara nyata sedang mengancam setiap orang di planet ini. Persoalan-persoalan itu perlu untuk dilibatkan dalam wacana keseharian mereka.
Kenyataan bahwa kita hidup di planet yang sama dan menciptakan pengetahuan dan kreasi lainnya adalah dasar dari perspektif etis yang dapat meyakinkan agama-agama untuk menentukan persoalan atau dasar bersamanya. Persoalan bersama ini mengingatkan kita bahwa Bumi memiliki banyak agama, sekaligus Bumi adalah pijakan dari agama-agama tersebut. Kita hidup di rumah yang sama bernama Bumi. Seharusnya agama-agama tidak hanya menciptakan cerita-cerita tentang penciptaan Bumi, tetapi juga cerita-cerita etis berdasarkan fenomena Bumi ini.
Sementara itu, Gary Gardner mengatakan bahwa persoalan-persoalan ekologis juga merupakan persoalan moral. Ia menambahkan bahwa Bumi ini merupakan dasar yang sakral, karena umat beragama banyak menggunakan sumber-sumber Bumi untuk mendukung kehidupan ritus dan religiusitasnya. Contohnya, Katolik dan Kristen yang menggunakan air dalam baptisan, serta menggunakan sumber Bumi lainnya untuk diminum dan dimakan dalam perjamuan kudus; Islam yang mengorbankan hewan dalam hari raya besarnya; sebagian agama lokal yang menggunakan pohon dan batu untuk ritual-ritualnya, dan sebagainya.
Kenyataan, bahwa banyak spesies yang terbunuh dan kerusakan atmosfer oleh karena perbuatan manusia, memunculkan tanya, “Siapakah kita? Apakah kita punya hak untuk membunuh spesies dan merusak atmosfer tersebut?” Inilah letak sisi moral dari persoalan ini.
Otoritas agama
Agama dalam hal ini mempunyai otoritas untuk merespon persoalan moral ini, karena agama mampu untuk menyajikan pemaknaan-pemaknaan yang mengakar pada diri manusia melalui ajaran atau doktrin-doktrinnya. Sebelum menggunakan otoritas tersebut, agama atau umat beragama harus disadarkan terlebih dahulu untuk dapat berimajinasi tentang masa depan yang lebih baik dari Bumi ini.
Isu moral dari persoalan ini sekaligus menjadi koreksi terhadap religiusitas umat beragama selama ini dalam kaitannya dengan ekologi. Fakta bahwa persoalan ekologis sebagian besarnya disebabkan oleh manusia dapat dikaitkan pula dengan populasi umat beragama di Bumi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh David Barret dan Todd Johnson, populasi umat beragama mencapai lebih dari 80 persen populasi manusia di Bumi ini. Pengaruh dari perilaku mereka terhadap Bumi ini tentunya sangat signifikan, sekaligus mencerminkan religiusitasnya.
Isu moral dan religius ini tidak berhenti pada sisi negatif dari perilaku manusia (khususnya umat beragama) terhadap ekologi, melainkan pula sebagai sisi positif dari otoritas agama untuk mereproduksi moral dan religiusitas yang ramah ekologi. Jumlah populasi yang lebih dari 80 persen penduduk Bumi menunjukkan pula akan terjadinya pemecahan signifikan dari persoalan ekologis saat ini. Hal ini dapat terjadi apabila umat beragama telah memiliki kesadaran untuk beraksi bersama dalam menghadapi persoalan tersebut.
Dasar bersama dan dialog
Kesadaran akan persoalan ini tidak hanya dilihat sebagai bentuk penyelamatan terhadap Bumi ini, melainkan juga bentuk penyelamatan eksistensi agama dan umat beragama itu sendiri. Kenyataan bahwa ada banyak agama dan umat beragama hidup di Bumi adalah tidak dapat dihindari. Menyelamatkan Bumi adalah penyelamatan eksistensi agama dan seluruh penghuninya, hal ini sekaligus memperkuat dasar bersama.
Gambaran persoalan bersama sebagai dasar dan kesadaran bersama di atas menunjukkan bahwa kita perlu bertindak secara individual maupun komunal. Hal ini tidak memaksa kita untuk harus mengatasinya secara homogen oleh karena masing-masing wilayah di Bumi ini memiliki karakteristik alam yang berbeda. Selain itu, perbedaan nilai dan atau pengetahuan dari setiap komunitas menunjukkan pula akan adanya usaha variatif terhadap persoalan ini.
Masing-masing kita mempunyai sumberdaya yang khas dalam mengatasi persoalan bersama sejauh untuk masa depan yang lebih baik dari Bumi bersama ini. Sebagai contoh, Kristen Evangelis di Amerika telah membentuk Evangelical Environmental Network untuk memromosikan konservasi lingkungan. Mereka berjuang untuk kehidupan yang lebih baik di Bumi ini, karena mereka percaya bahwa mereka mempunyai tanggungjawab untuk melindungi ciptaan Tuhan. Konfusianisme dan Taoisme percaya bahwa terdapat hubungan ilahi antara manusia dan alam ini, sehingga penganutnya memanifestasikan kepercayaan tersebut dalam pekerjaan mereka di lapangan pertanian, serta kebiasaan-kebiasaan tertentu pada setiap musim yang mereka miliki.
Melalui usaha dari masing-masing komunitas, kita tidak lantas menilai siapa yang lebih baik di antara yang lainnya. Kita tidak dapat dinilai atau diukur dengan sebuah standar yang sama (incommensurable), karena kita memiliki kekhasan masing-masing. Tentunya kekhasan yang dimaksud tidak menjadi sarana ekskluvitas dari masing-masing komunitas. Bumi atau persoalan ekologis sebagai dasar bersama kita mensyaratkan kerjasama antarkomunitas meski dengan kekhasannya masing-masing. Usaha untuk lebih meningkatkan kapasitas komunitas dengan cara belajar dari komunitas lainnya akan semakin mengembangkan usaha penyelamatan ini. Hal ini dapat terjadi melalui dialog di antara mereka. Melalui persoalan nyata inilah agama atau umat beragama dimungkinkan untuk berdialog satu dengan yang lainnya. Dialog ini merupakan bentuk usaha penyelamatan Bumi oleh umat beragama demi masa depannya sendiri, yang berguna pula untuk penghuni lainnya.
Perjuangan untuk masa depan Bumi seperti dijelaskan di atas bukanlah hal yang baru. Sebagian orang di berbagai belahan Bumi telah memulainya sejak sepuluh tahun belakangan ini. Usaha-usaha dari mereka patut didukung dengan kekhasan kita, karena dibutuhkan aksi bersama untuk persoalan atau dasar bersama ini dengan berbagai cara yang memungkinkan perubahan yang positif.
Sudah saatnya persoalan ekologis ini tidak lagi menjadi isu yang aneh dan tak terjangkau dari kehidupan keseharian umat beragama. Dengan jumlah populasi umat beragama yang besar di Bumi, menunjukkan betapa pentingnya agama untuk mengambil bagian dalam persoalan ini. Para praktisi atau tokoh-tokoh agama sudah seharusnya meningkatkan dan berbagi kesadaran kepada umat beragamanya lewat peribadahan atau ritual-ritual yang mereka selenggarakan. Aksi bersama untuk memperoleh dampak yang baik bagi kehidupan Bumi dan penghuninya sangatlah dinantikan.
JIMMY M. I. SIREGAR
Alumni Fakultas Teologi
Menegaskan Kembali Komitmen UKSW sebagai Universitas Advokasi
Judul di atas menjadi refleksi saya pada dies natalis UKSW ke-53, di tengah derasnya harapan berbagai perguruan tinggi Indonesia untuk menjadi universitas riset. Saya tidak melakukan pemisahan (tegas) antara advokasi dan riset, yang sebenarnya merupakan dua dari tiga peran yang diemban perguruan tinggi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi — selain pengajaran. Saya hanya mencoba “menebalkan” komitmen yang menjadi watak dasar perguruan tinggi dalam menjalankan perannya di masyarakat. Artinya, pertama, karena Tri Dharma Perguruan Tinggi sudah meniscayakan melakukan advokasi melalui (program) pengabdian masyarakat, maka kemungkinan besar advokasi sudah dilakukan dalam peran UKSW selama ini.
Kedua, peran untuk melakukan advokasi melalui pengabdian masyarakat dalam konteks UKSW hari ini perlu direvitalisasi terkait dengan visi UKSW. Adapun visi UKSW adalah: [1] menjadi universitas scientiarum untuk pembentukan persekutuan pengetahuan tingkat tinggi yang terkait kepada pengajaran kebenaran berdasarkan pada realisme Alkitabiah; [2] menjadi universitas magistrorum et scholarium untuk pembentukan minoritas berdayacipta bagi pembangunan dan pembaharuan masyarakat dan negara Indonesia; [3] menjadi pembina kepemimipinan untuk berbagai jabatan dalam masyarakat (termasuk gereja) yang sedang membangun; [4] menjadi radar dalam situasi perubahan kebudayaan, politik, moral, dan rohaniah, yang mensinyalir, mencatat, dan mengikuti perubahan-perubahan itu guna menjadikannya obyek atau sasaran pembahasan dan penelitian; dan [5] menjadi pelayan dan lembaga pendidikan pelayanan (diakonia) sepanjang masa, mencakup kritik yang konstruktif serta informatif kepada gereja dan masyarakat terhadap keadaaan masyarakat dimana masih terdapat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakbenaran, dan ketidakdamaian.
Visi UKSW mengantarkan sivitas akademika untuk menjalankan relasi dengan masyarakat sebagai pemimpin, radar, dan pelayan. Tentunya dalam berperan tersebut, UKSW memunyai karakteristik yang menjadi pembeda yaitu creative minority, kelompok pemimpin-radar-pelayan yang berdayacipta. Visi UKSW meniscayakan untuk menjalin hubungan dan memainkan peran yang kreatif untuk memindai perubahan, sekaligus menempatkan diri sebagai pelayan yang kritis-konstruktif terhadap keadaan masyarakat yang mengarah pada proses-proses “dehumanisasi”.
Pengabdian masyarakat perlu mendapat pemaknaan baru sebagai advokasi dalam hal: [1] melakukan pendampingan yang memberdayakan atas kondisi masyarakat; [2] menjadi bagian di antara riset dan (bahan) pengajaran yang menempatkan advokasi sebagai riset (partisipatoris) dan studi kasus untuk menajamkan topik pengajaran di kelas. Dengan memosisikan advokasi sebagai penajaman Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka keterkaitan perguruan tinggi dan masyarakat dapat bertimbal balik.
Ketimbalbalikan ini akan membongkar stigmatisasi perguruan tinggi sebagai menara gading yang seolah-olah dunianya berbeda dengan yang terjadi dan dialami masyarakat. Kontribusi berwatak solusi atas permasalahan-permasalahan konkret yang dihadapi oleh masyarakat menjadi tantangan perguruan tinggi saat ini. Permasalahan ini sering membutuhkan solusi kekinian dan pendampingan untuk menawarkan pendampingan untuk mengatasi masalah tersebut. Sheila Espine-Villaluz memberikan definisi advokasi sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) ke dalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, advokasi sebenarnya membutuhkan peran aktif perguruan tinggi untuk membantu mengagregasi kepentingan masyarakat, termasuk memetakan permasalahan yang dihadapi dan menentukan langkah strategis dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan tersebut dalam suatu kebijakan publik. Peran aktif tersebut menempatkan perguruan tinggi menjadi agen sentral perubahan yang mengimplementasikan pengetahuan dengan permasalahan aktual di masyarakat.
Dalam konteks demikian, reposisi peran UKSW yang mendasarkan diri pada visi UKSW menemukan relevansinya. Advokasi menjadi “jembatan aktualisasi” visi UKSW yang secara sadar menempatkan citra diri ke depan sebagai creative minority, dalam mengawal pembangunan dan perubahan masyarakat Indonesia. Menjalankan kegiatan advokasi akan menempatkan sivitas untuk menjadi pemimpin dalam membantu mengawal atau mendampingi masyarakat memberdayakan dirinya. Advokasi yang baik adalah ketika masyarakat yang didampingi menjadi berdaya, dimana masyarakat mengalami transformasi pengetahuan dalam memandang masalah dan solusi yang diajukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Advokasi masyarakat akan menuntut UKSW untuk aktif memantau bentuk-bentuk perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pemantauan ini menjadi sarana komunikasi imajiner antara pemikiran yang dipelajari dengan kondisi masyarakat yang terjadi atau terbentuk sebagai konsekuensi pembangunan yang dilakukan. Komunikasi yang terbangun membutuhkan daya kritis dalam memahami kondisi masyarakat dengan segala dinamikanya. Pemikiran dan daya kritis yang melekat di dalamnya akan membentuk ijtihad intelektual dalam mencoba memberikan solusi — meski, pada tahap awal, solusi yang ditawarkan masih dalam tataran pemikiran (teoretis). Dan pemikiran tersebut membutuhkan wahana pengujian untuk mengetahui daya solutif yang terkandung dalam ide-ide yang ditawarkan.
Dengan membumikan pemikiran sebagai hasil daya kritis atas pembacaan fenomena kemasyarakatan, maka nurani intelektual dapat terdorong untuk bergerak. Dorongan untuk bergerak, selain mencari ruang untuk mendiseminasi pengetahuan hasil buah pikir intelektual, juga dapat menjadi wahana aktualisasi visi UKSW. Pembumian pemikiran dan ruang diseminasi pengetahuan tidak menempatkan intelektual menjadi “tuan” atas masyarakat, melainkan harus mau mengabdikan dirinya dengan segala pemikiran dan pengetahuan yang dimiliki kepada masyarakat. Di titik inilah perwujudan pengabdian masyarakat menemukan bentuknya, dimana pengabdian diartikan menjadi abdi masyarakat.
Abdi menjadi nama lain dari pelayan. Pilihan atas terminologi itu mempunyai konsekuensi, yaitu pelayanan atau pengabdian yang diberikan tidak mengharapkan imbalan atau kontraprestasi, kecuali hasil uji dari pengetahuan yang “ditabur” dan masyarakat yang berdaya karena pengetahuan yang diperoleh. Intelektual di perguruan tinggi yang mengamalkan pengetahuan untuk memberdayakan (bukan memperdayakan) masyarakat akan berjuang untuk mencari solusi atas kemiskinan, ketidakadilan, ketidabenaran, dan ketidakdamaian. Namun terkadang terjadi, intelektual atas nama pengabdian masyarakat memperdaya masyarakat dengan program-program yang tidak memberdayakan. Program-program didesain seolah-olah mengabdi, namun sebenarnya hanya bagian dari kegiatan proyek penelitian yang mendapatkan bantuan dana dari lembaga tertentu.
Menjadi pelayan tidak menempatkan dirinya untuk berniat mengambil apapun dari masyarakat, melainkan memberi dengan ketulusan agar masyarakat menjadi “tuan” dalam mengembangkan aktivitas keseharian. Hasil yang diperoleh sebagai intelektual-pelayan adalah pengetahuan yang didasarkan pada kondisi senyatanya dengan dinamika perubahan yang terjadi. Pengetahuan ini kemudian dikonseptualisasikan dalam bentuk abstraksi dari ide atau gagasan yang berasal dari dinamisasi kemasyarakatan. Advokasi akan meniscayakan dialektika antara pengetahuan hasil buah pikir dan pengetahuan dari pengalaman masyarakat yang mendorong terjadinya pengetahuan kekinian, yang didasarkan pada perubahan-perubahan masyarakat.
Advokasi, yang bisa menjembatani perguruan tinggi dan masyarakat, dapat menjadi penggerak bagi gagasan untuk membentuk universitas riset. UKSW yang menginginkan dirinya sebagai perguruan tinggi yang berorientasi pada riset dan visi yang sudah ditetapkan, membutuhkan langkah-langkah penyeimbang dalam membentuk persekutuan pengetahuan tingkat tinggi yang terkait kepada pengajaran kebenaran berdasarkan realisme Alkitabiah. Dalam situasi yang demikian, advokasi sebagai bantuan kepada publik dalam bentuk ide, pemikiran, atau gagasan konstruktif dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dan mendorong penempatan masalah yang dihadapi dalam kebijakan publik.
Advokasi akan mendorong terbentuknya masyarakat intelektual yang ber-participatory research, yaitu dengan terlibat aktif memberikan solusi yang konstruktif dari masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, penelitian yang dihasilkan memberikan ruang pemberdayaan masyarakat, dan tidak sekadar memberdayakan peneliti dengan hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan.
UKSW perlu menyandingkan keinginan menjadi universitas riset dengan kegiatan advokasi kepada masyarakat. Penyandingan ini menjadi upaya untuk membangun aktualisasi visi UKSW dalam berkontribusi bagi Indonesia, sehingga UKSW menjadi bagian dari solusi masalah kemasyarakatan dan berkontribusi dalam mengawal perubahan masyarakat dari hasil pembangunan.
YAKUB ADI KRISANTO
Dosen Fakultas Hukum